Bali memang terkenal akan keindahan budaya dan alamnya di dunia, dan dalam blog ini kami akan memperkenalkan sedikit tentang budaya Bali yang kami ketahui, dan semoga blog ini dapat memperkenalkan dan memajukan pariwisata Indonesia.
Kebudayaan Di Bali
NGABEN

Ngaben adalah upacara pembakaran mayat atau kremasi umat Hindu di Bali, Indonesia. Acara Ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan guna mengirim jenasah kepada kehidupan mendatang. Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Tidak ada airmata, karena jenasah secara sementara waktu tidak ada dan akan menjalani reinkarnasa atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Hari yang sesuai untuk acara ini selalu didiskusikan dengan orang yang paham. Pada hari ini, tubuh jenasah diletakkan didalam peti-mati. Peti-mati ini diletakkan di dalam sarcophagus yang menyerupai Lembu atau dalam Wadah berbentuk vihara yang terbuat dari kayu dan kertas. Bentuk lembu atau vihara dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.
Puncak acara Ngaben adalah pembakaran keluruhan struktur (Lembu atau vihara yang terbuat dari kayu dan kertas), berserta dengan jenasah. Api dibutuhkan untuk membebaskan roh dari tubuh dan memudahkan reinkarnasi.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segaera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya dalam acara kelompok untuk suatu kampung, dikremasikan.
TARI PENDET

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).
Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.
Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.
SUBAK

Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali.
Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. (en) [1] Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini

Selain memiliki tempat wisata yang indah, Bali juga kaya dengan tempat wisata yang indah, Bali juga kaya dengan budaya dan tradisi yang unik, Megibung adalah merupakan salah satu tradisi warisan leluhur, dimana tradisi makan bersama dalam satu wadah.
GEBUK ENDE
Ada banyak budaya dan tradisi unik warisan leluhur di bali, dan beberapa ada di kabupaten karangasem seperti salah satunya tradisi gebug ende atau Gebug Seraya. seperti nama dari tradisi ini berasal dari Desa Seraya.
Gebug ende adalah ritual pemanggilan hujan yang biasanya
digelar antara Oktober dan Desember pada saat warga baru saja menanam
jagung di pelosok Desa Seraya, Bali. Warga desa akan berkumpul, menari-nari dan bersiap-siap untuk memukul
lawan dengan tongkat rotan atau menangkis serangan lawan dengan tameng. Di daerah Lombok pun terdapat ritual serupa yg dinamakan Peresean.
Dengan mensyaratkan tetesan darah akibat hantaman rotan. Semakin banyak
darah yang menetes maka semakin besar kemungkinan hujan turun.
MEKARE-KARE atau PERANG PANDAN
Satu lagi tradisi unik yang ada di Bali tepatnya ada di Desa Tenganan Karangasem. yaitu Upacara Perang Pandan. Upacara Perang Pandan adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (Dewa Perang dalam Kepercayaan Hindu) Ritual ini juga merupakan bagian dari Upacara Usaba Sambah yang diadakan setiap tahun sekali yaitu pada bulan kelima kalender Tenganan yaitu pada bulan Juni dan Juli Pada Kalender Masehi. Ritual ini diadakan dengan mempertarungkan satu lawan satu dengan menggunakan senjata pandan berduri sebagai senjata dan tameng rotan untuk menangkis serangan, pandan berduri sebagai senjata akan saling digeret-geretkan pada satu sama lain, tidak ada kata kalah atau menang dalam ritual ini, walau berdarah dan terluka mereka tetap tersenyum dan tertawa ketika ritual selesai.
OMED-OMEDAN
Tradisi unik di desa Sesetan ini hanya diikuti oleh Truna-Truni / muda-mudi atau yang sudah tua dan belum menikah, Momen menarik dimana ada adegan tarik-menarik dan cium-ciuman ini dirayakan setiap tanggal 1 Caka atau sehari setelah Hari Raya Nyepi.Omed-omedan berasal dari kata omed yang berarti tari-tarikan. Satu kelompok pemuda dan satu kelompok pemudi pada sisi berlawanan akan saling tarik dalam kegembiraan. Omed-omedan telah diwarisi sejak ratusan tahun lalu dan diyakini memiliki nilai sakral yang berhubungan dengan sesuhunan (manifestasi Tuhan yang dipuja masyarakat) di Pura Banjar Kaja. Selain itu, tradisi Omed-omedan sehari setelah Nyepi atau pada hari Ngembak Geni ini merupakan bentuk luapan kegembiraan dan kebersamaan masyarakat.Akhir keramaian Omed-omedan belum sepenuhnya akhir dari ritual. Di dalam pura peserta bergilir mencakupkan kedua tangan memohon tirtha dari para pemangku. Hal ini sebagai ungkapan syukur sekaligus memohon keselamatan pada Tuhan. Pada saat inilah sebagian peserta termasuk pemangku bisa tidak sadarkan diri. Mereka mengalami trance yang oleh masyarakat disebut kerauhan. Beberapa diantara mereka berteriak, menari, menangis, hingga mengeluarkan ucapan-ucapan yang diyakini sebagai kehendak sesuhunan. Butuh waktu agar mereka bisa sadarkan diri dengan sarana tirtha yang dipercikkan oleh para pemangku. Sebelum berakhir, pemangku kembali menghaturkan puja kehadirat Tuhan. Harapannya agar persembahan mereka bisa diterima dan mendatangkan keharmonisan bagi kehidupan masyarakat di Banjar Kaja. Melalui Omed-omedan masyarakat juga berharap bisa terus memupuk kesatuan, kesetiakawanan dan kebersamaan.
MEKOTEK
Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan mohon keselamatan, yang merupakan warisan budaya leluhur yang dirayakan setiap hari Raya Kuningan dan turun-temurun oleh hampir 15 banjar di Desa Munggu Kecamatan Mengwi, Badung
Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain. Seribu lebih warga dari 12 banjar di desa Munggu ikut serta dalam tradisi yang diwariskan saat perayaan kemenangan perang Blambangan pada masa kerajaan silam. Setiap warga yang mengikuti Mekotek diwajibkan membawa sebuah kayu jenis pulet yang panjangnya sekitar 3,5 meter. Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok dan menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga berbentuk kerucut. Kemudian, ada salah seorang warga yang naik di atas tumpukan kayu tersebut untuk ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain. Selain sebagai simbol kemenangan, Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang pernah menimpa desa ini puluhan tahun lalu. Konon, pada tahun 1915, Belanda melarang diadakannya tradisi Mekotek karena takut terjadi pemberontakan, kemudian munculah bencana berupa wabah penyakit yang menewaskan 10 orang setiap harinya. Setelah itu, warga melakukan negosiasi dengan Belanda dan akhirnya diizinkan kembali untuk menggelar kembali tradisi ini dan tidak pernah ada lagi bencana seperti sebelumnya.
PERANG KETUPAT
Satu lagi tradisi unik di bali yaitu Perang Ketupat yang dirayakan satu tahun sekali di desa Kapal, Kabupaten Badung. Tujuan diadakan prosesi ini adalah sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Hasil Panen dan untuk doa keselamatan dan memohon kesejahteraan bagi umat manusia.